Minggu, 06 Maret 2011

cerita harimau jiwa yang meronta
selepas daun teresenyum
dan tawa
rindu pujcuk cahaya
sebagai pelindung hati


@kompak

Minggu, 10 Januari 2010

kado terakhir

Bercanda dan tertawa sambil bekerja itu adalah kebiasaan bersama ayahku. Namun disaat kami sedang bercanda seseorang menelphon ayahku. Kulihat ekspresi wajah ayahku. Setelah selesai berbicara aku langsung bertanya

“ada apa yah?”

Ayahku hanya diam, dia sulit mengatakannya kepadaku. Kutanyakan lagi

”ada apa yah......?”

”nenek kau nak”

”nenek? Maksud ayah nenek yang mana?”

”nenek karo kau meninggal....”

”gak yah....gak mungkin! Nenek sehat yah...gak mungkin....,ayah bohongkan? Siapa tadi yang menelphon?”

”mami kau yang nelpon.....”

”gak mungkin.......”

Kulari kekamar. Menangis dan menangis. Kuseakan tak percaya akan semua ini.

Apa yang telah kutakuti kini benar-benar tejadi. Seakan bumi pecah saat aku mendengar kepergian nenek yang perna menciptakan lagu untukku, membelai rambutku dan bahkan memberikan aku nasihat, yang biasanya disaat aku datang kudisambut dengan pelukan yang memecahkan rindu pada saat itu.

Beberapa menit kemudian aku menelpon kakakku.

”Assalamu’alaikum?”

”walaikumsalam, ada apa dek? Kenapa kau menangis?”

”Nenek Kak.......”

”nenek kenapa dek? Udah tenang dulu! Pelan-pelan kau bicara.....”

”Nenek meninggal Kak........Nenek meninggal......”

”Innalillahi wa innailaihi roji’un......,jadi kau cemano dek..?”

”li berangkat sekarang, li gak mau lagi terjadi kayak atok meninggal dulu”

”iyo.....,siapa kawan kau dek? Ayah gimana apo yang ayah katokan?”

“Ayah Cuma diam aja...li gak perduli yang pasti li berangkat sendiri...!

“tunggu dek.....,akak telpon ayah bentar yo....tunggu akak yo....?”

“yaudah kak jangan lamo yo......!?”

“iyo dek.......tunggu akak yo.....akak telpon ayah, assalamu’alaikum”

“wa’alaikumsalam........”

Kumenunggu dan menangis diatas tempat tidur. Aku sangat menyesal kenapa aku pulang kenati bara. Seharusnya aku ke karo tuk jagain nenek. Tapi tak dapat disesalkan semua sudah terjadi, yang harus dipikirkan sekarang gimana caranya agar aku sampai ke karo dengan cepat. Ku menunggu dan terus menunggu hingga aku tertidur. Waktu terus berputar.seiring dengan dentingan jam yang berdetak.

Ketika kuterbangun ku melihat handphonku tak juga berdering. Jam menunjukkan pukul 12.00, namun berita belum juga ada. Merasa penasaran aku meng sms kakakku ingin mengetahui kabarnya, lagi dimana sekarang.

Tapi setelah di sms kakak mengatakan tak jadi ikut. Betapa kecewanya liz. Hati ini bertanya kenapa tidak di sms dari tadi. Kemudian ku sms ayahku. Ternyata ayahku juga tahu bahwa kakak tidak jadi berangkat

”yah, kak ica gak jadi ikut”

”iyo nak..., anaknya yang gak bisa ikut

”jadi ayah tahu? Kenapa gak cerita dari tadi? Ya udalalah li berangkat sekarang ya...?”

”tunggu nak, siapo kawan kau nak....?”

”li sendiri aja yah....,kan selamo ini li sendiri”

”ayah ondak berangkat jugo nak....”

”tapi jam berapo berangkat yah.....? nanti kek kejadian atok lagi.....gak sempat lihat jenazahnyo”

”sompat.....,tunggu ayah yo....., kojab lagi sampai rumah. Ayah lagi membolo mobil, kojab lagi siap. Jam tigo sore kito berangkat”

”lamonyo yah.....”

”kojabnyo nak.....”

Beberapa menit kemudian ayah pulan kerumah. Ku melihat ayah membuka gerbang dan memasukkan mobilnya keteras. Dan membuka pintu rumah dan masuk terus keruang tamu. Kumenghampirinya dan mendekat.

”yah........”

”apo nak?”

”ayah ondak ke karo jugo?”

”iyolah nak.....,ayah jugo ingin nengok umi kau.....,cemano keadaan dio, samo siapo dio tinggal nanti.....”

”tapi naik apo kito berangkat?”

”naik mobil tapi ayah bawa kawan duo orang, pak agus dan pak raman kau..., nanti bisa bergiliran nyupirnyo”

”o....gitu. yaudalah kalau bisa di percepat yo yah.....”

Mataku bengkak karena kebanyakan nangis. Bengkaknya bak bukit yang berbaris

di pergunungan dan merah bak ditonjok genduruo. Hujan terus mengguyur seakan tak mengizinkanku tuk keluar rumah. Kuhanya bisa menatap hujan yang terus membasahi bumi. Sms teman-temanku membuatku sedikit terhibur.

Lama kelamaan reda juga. Mulailah kami berangkat. Kami mengambil jalur siantar. Jam sudah menunjukkan pukul 17.00, sesampai disiantar sudah gelap. Namun diantara gelapnya malam dihiasi dengan bintang yang indah dan lampu kerlap kerlip di setiap rumah umat kristiani yang menyambut hari natal.

Semakin dekat ketempat tujuan semakin terasa udara gunung kehidungku yang merayu kulitku hingga membuat tubuhku hangat tak menentu. Kepala mulai pusing. Kami berhenti di tempat orang yang sedang berjualan duren. Karena udara dingin kami memborong duriannya dan memakannya di tempat. Kumelihat wajah mereka pucat termasuk ayahku. Aku merasa kasihan melihat ayahku. Tampak lelah diwajahnya.

Akhirnya kami sampai juga dirumah duka pukul 02.30 pagi. Ku tak bisa berbuat apa-apa. Saudara nenek langsung mengajak ayah berbicara. Aku hanya melihat nenekku terbaring kaku. Air mataku sudah kering. Aku langsung kesumur mengambil wudhu’ dan kemudian duduk disamping nenek dan membacakan yasin tuk di padiahkan buat nenek sebagai hadiah pertama dan terakhir di hari ultahnya sekaligus hari penutupnya.